Loading...
June 27, 2015

Sejarah Perkembangan Islam di Bali khususnya di Kabupaten Jembrana


Sejarah Perkembangan Islam di Bali khususnya di Kabupaten Jembrana

“…orang Bugis/Makassar tersebut pertama kali memperkenalkan ajaran-ajaran agama Islam kepada masyarakat jembrana yang beragama Hindu Bali. Seiring dengan waktu, maka semakin kuat persatuan di antara kedua belah pihak, muslim dan warga asli bali yang beragama Hindu bahkan tercatat ada juga seorang anggota keluarga I Gusti Ngurah Pancoran yang memasuki agama Islam. Menyusul kemudian beerapa penduduk dan wanita….”

Kutipan yang diambil dari buku karya I Wayan Reken yang berjudul “Sejarah Perkembangan Islam di Bali khususnya di Kabupaten Jembrana” di atas menunjukkan proses masuknya Melayu Islam ke Pulau Bali.
Bukti dari eksistensi orang-orang Melayu di Bali, khususnya di daerah Jembrana, dapat dilihat dari adanya sebuah perkampungan yang rumah-rumahnya tidak memiliki pura, seperti halnya kebanyakan rumah di Bali. Justru, rumah-rumah itu merupakan rumah panggung, ciri khas perumahan orang Melayu. Kampung Loloan memang merupakan sebuah perkampungan Melayu, yang dihuni suku Melayu dan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar pergaulan keseharian, walaupun kampung itu berada di Bali. Penduduk kampung itu merupakan keturunan para penyebar Islam di Bali. Unik memang, di Bali yang terkenal dengan Hindhu-nya justru dijumpai sekelompok masyarakat yang konsisten menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari. Tak hanya itu, pakaian, bentuk rumah, dan tata cara adat pun masih merujuk pada akar budaya Melayu. Jumlah penduduk Melayu Muslim di Loloan, yang terdiri dari dua kecamatan: Loloan Timur dan Loloan Barat, saat ini sekitar 15.000 orang, dari sekitar 42.000 Muslim yang tinggal di Kabupaten Jembrana. Menurut H. Mustafa Al-Qadri, salah seorang sesepuh Melayu di kampung Loloan Barat, orang Melayu di Loloan berasal dari beberapa daerah: Bugis, Kalimantan dan Terengganu. Namun yang terbesar berasal dari Bugis.
Berdasarkan buku kecil “Sejarah Masuknya Islam di Bali II”, setelah Makassar jatuh ke tangan VOC pada tahun 1667, Belanda menjadikan keturunan Sultan Wajo sebagai lawan yang harus dibasmi. Di bawah tekanan Belanda, rombongan laskar Sultan Wajo, yang dipimpin Daeng Nahkoda melarikan diri dari tanah Sulawesi hingga akhirnya bermukim di suatu tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Bajo. Atas izin I Gusti Ngurah Pancoran yang berkuasa di Jembrana, pelabuhan tempat mereka berlabuh diberi nama Bandar Pancoran, bekas pelabuhan lama tersebut terletak di Loloan Barat. Sejak saat itu, berdatanganlah orang-orang Bugis ke Jembrana dengan menggunakan perahu Pinisi dan Lambo. Selain dari Bugis, dua ratus tahun kemudian yaitu pada abad ke-18 masehi, juga datang rombongan orang Melayu Pontianak yang dipimpin oleh Syarif Abdullah bin Yahya Al-Qadry. Dalam rombongan Syarif Abdullah Yahya al-Qadri tersebut ikut pula orang Melayu dari Terengganu bernama Ya`qub, yang kemudian menikah dengan penduduk Melayu tempatan.
Ya`qub inilah yang disebut-sebut dalam Prasasti Melayu yang disimpan di Masjid Agung Baitul Qadim, Loloan Timur, yang menurut salah seorang takmir Masjid Agung Baitul Qadim, H. Fathurrahim, dibangun pada tahun 1600-an masehi. Di pelataran masjid itu pula Ya`qub dimakamkan. Dalam prasasti tersebut tertulis:
“Satu Dzulqa`dah 1268 H, hari Itsnin. Encik Ya`qub orang Terengganu mewaqafkan akan barang istrinya serta mewaqafkan dengan segala warisnya yaitu al-Qur`an dan sawah satu tebih (petak) di Mertosari. Perolehannya 40 siba` (ikat) dalam Masjid Jembrana di Kampung Loloan ketika Pak Mahbubah menjadi penghulu dan Pak Mustika menjadi Perbekel. Saksi: Syarif Abdullah bin Yahya al-Qadri dan Khatib Abdul Hamid”
Selain catatan tersebut, juga ada informasi tentang kedatangan orang-orang Bugis di Bali sekitar tahun tersebut. Menurut informasi itu, ulama-ulama dari Negeri Kucing dan Serawak. sekarang di Malaysia Timur, juga berdatangan ke Loloan. Setelah itu, juga datang seorang muballigh bernama Syech Ahmad Bawazir dari Yaman. Ia mengajarkan Islam kepada warga Loloan dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, sesuai dengan bahasa pengantar di Loloan pada masa itu. Hal inilah yang kemudian membuat bahasa Bugis lambat laun tersisih, hingga akhirnya hanya bahasa Melayu yang digunakan di Loloan.
Eksistensi budaya Melayu di Bali bertambah kuat dan bertambah kokoh setelah generasi-generasi muda Loloan mulai dikirim belajar hingga ke Mekkah. Bahkan, di antara mereka ada yang menetap di Mekkah hingga 30 tahun, seperti H. Agus Salam, H. Muhammad Said, dan HM. Asad, dan KH. Abdurrahman yang sempat mondok di sekitar Masjid al-Haram sebelum Wahabi masuk ke Arab. Sepulang dari jazirah Arab, mereka kemudian membangun pesantren-pesantren di Loloan. Masyarakat Melayu Islam di Loloan pada masa itu sangat diterima oleh penguasa Bali, bahkan tidak berlebihan jika disebut, sangat akrab!. Hal itu tidak terlepas dari kesediaan para Muslim Jembrana untuk ikut memperkuat armada kerajaan-kerajaan Hindu Bali. Setiap kali ada serangan dari kerajaan lain, warga Jembrana dari kalangan Muslim turut membantu. ?Sebagai imbalannya, mereka diberikan hadiah tanah seluas 200 hektare sebagai pemukiman khas bagi orang Melayu,? jelas H. Ahmad Damanhuri, sesepuh Melayu Loloan. Saat itu pula, dibuat sebuah konvensi tak tertulis tentang penggunaan bahasa: bahasa Bali digunakan dari daerah Air Kuning ke arah timur; sedangkan bahasa Melayu digunakan mulai dari Jembrana hingga ke daerah Melaya. Walaupun demikian, dalam kenyataannya tak sekaku konvensi itu. Kini, setelah 500 tahun berselang, ada juga unsur bahasa Bali yang terserap dalam kosakata Melayu yang dipergunakan oleh masyarakat Loloan. Oleh karena itu, tak salah jika mereka menyebut dirinya sebagai Melayu Bali.
Seperti halnya orang Melayu kebanyakan, Melayu Bali di Loloan juga gemar berpantun. Namun, sepertinya hanya generasi tua saja yang masih piawai mengucapkannya. Dari segi arsitektur bangunan, kesan Bugis juga sangat tampak dalam desain bangunan rumah-rumah asli masyarakat Melayu Loloan, terutama di daerah sekitar Masjid Al-Qadim. Juga, simbol keislaman seperti tulisan Allah dan Muhammad pada dinding rumah-rumah itu. Simbol inilah yang membuat Loloan tampak seperti bukan di Bali yang terkenal dengan sebutan Pulau Seribu Pura itu.

Sejarah Nama Kampung Loloan

Asal usul kata Loloan bermula pada saat Syarif Abdullah bin Yahya Al Qadry menyusuri sungai Ijogading. Beliau sangat terkesan dengan pemandangan di sekitar sungai yang berkelok-kelok dan mengingatkan pada kampung halamannya. Syarif Abdullah bin Yahya Al Qadry berteriak-teriak sambil memberikan komando kepada para pengikutnya dalam bahasa Kalimantan ”liloan-liloan”yang artinya berbelokan atau sungai yang berbelok-belok. Kata ”liloan” yang artinya berbelokan kemudianberubah menjadi ”Loloan” yang artinya berkelok-kelok. Menurut Zaidah Mustapa (1978) menyebutkan bahwa kata Loloan berasal dari kata ”loloh” (Bahasa Bali) yang artinya obat-obatan atau jamu. Hal ini didasarkan pada keahlian yang dimiliki oleh Syarif Abdullah bin Yahya Al Qadry beserta pengikutnya yang terkenal dengan obat-obatannya yang mujarab untuk menyembuhkan berbagai penyakit, sehingga relatif banyak orang-orang Bali yang mengkonsumsi obat-obatan atau ”loloh” buatannya.
Pada tahun 1800, Syarif Abdullah bin Yahya Al Qadry bersama pengikutnya mulai mendirikan permukiman yang berupa rumah-rumah panggung. Kemudian pada tahun 1804 membangun benteng pertahanan laskar muslim yang diberi nama Benteng Fatimah yang letaknya di Loloan Timur. Mereka merubah kapal-kapal perang menjadi kapal niaga, yang kemudian melakukan perniagaan sampai ke Singapura dan dataran Melayu. Setahun sebelumnya yaitu tahun 1803 Raja Jembrana yang bernama Anaka Agung Putu Seloka disertai para pembesar kerajaan dan Syarif Abdullah bin Yahya Al Qadry meresmika enam buah desa yaitu : 1). Desa Baler Agung, Banjar Tengah, Lelateng, Mertasari sebagai desa administratif masyarakat Hindu, 2) Desa Loloan Barat dan Loloan Timur sebagai desa administratif masyarakat Muslim yang sekarang menjadi Kelurahan. Di samping meresmikan desa-desa tersebut juga diresmikan satu kota yang pada mulanya menjadi ibu kota dari keenam desa tersebut yaitu Kota Negara, yang pada awalnya diberi nama Puri Agung Negari (Damanhuri, 1993).
Selanjutnya pada saat Jembrana berada di bawah kekuasaan Badung (tahun 1805 – 1808) Raja Badung mempercayakan nahkoda Pattini seorang suku Bugis sebagai Syahbandar di Loloan yang berkewajiban membayar pajak kepada raja. Pelabuhan Loloan pada saat itu sangat menguntungkan Kerajaan Badung karena letaknya yang strategis yaitu mudah dijangkau dari pelabuhan Kuta dan Tuban bagi kapal-kapal pedagang yang berlayar ke arah barat. Raja Jembrana Anak Agung Putu Seloka digantikan putranya yang bernama Anak Agung Putu Ngurah yang merupakan raja keempat di Jembrana yang memerintah dari tahun 1842 – 1855. Pada saat pemerintahan Anak Agung Putu Ngurah diangkat seorang punggawa dan perbekel. Punggawa I Gusti Made Pasekan ditugaskan sebagai pengayom rakyat Hindu, berkedudukan di Jero Pasekan Jembrana dan Perbekel Mustika ditugaskan sebagai pengayom rakyat muslim yang berkedudukandi Loloan Timur.
Pada tahun 1856 Jembrana sudah di bawah pengawasan Kolonial Belanda. Politik pecah belah Belanda menybabkan terjadinya perpecahan di kalangan pembesar kerajaan dan rakyat. Pada saat itu terdapat dua kelompok yaitu kelompok yang memihak kepada Raja Putu Ngurah dan kelompok yang memihak kepada I Gusti Made Pasekan termasuk di dalamnya warga muslim yang dipimpin Syarif Abdullah bin Yahya Al Qadry. Akibatnya terjadilah perang saudara yang kemudian dimenangkan oleh Punggawa I Gusti Made Pasekan, dan kemudian I Gusti Made Pasekan menjadi raja ke-5 yang memerintah tahun 1855 – 1866. Pada saat itu relatif banyak kemajuan yang diperoleh rakyat muslim. Pada tahun 1857 Komisaris Belanda memerintahkan rakyat Jembrana membangun jalan yang menghubungkan desa Loloan Timur dengan desa Dauh Waru Jembrana, yang menyebabkan Benteng Fatimah tergusur.
Pada akhir abad ke-19 di Loloan didirikan sebuah masjid yang diberi nama Masjid Baitul Qodim. Di dalam masjid tersebut terdapat sebuah prasasti berangka tahun 1268 H (1883 Masehi), yang sampai saat ini dikenal dengan sebutan Prasasti Loloan. Dalam prasasti dituliskan tentang seorang yang bernama Yakub telah mewakafkan sebuah Al Quran dan sebidang tanah untuk pembangunan Mesjid di Loloan Jembrana.
Pada masa akhir Kerajaan Jembrana diperintah Anak Agung Made Jelun sebagai raja ke-7 yang memerintah Jembrana dari tahun 1928 – 1952. Setelah raja ke-7 mengundurkan diri tahun 1952, Jembrana berubah status menjadi sebuah kabupaten yang dipimpin oleh seorang Bupati yang bernama Ida Bagus Doster. Kampung Loloan yang dipisahkan sungai Ijogading dibagi menjadi dua wilayah administratif yaitu Kelurahan Loloan Barat dan Kelurahan Loloan Timur, yang masih eksis sampai saat ini.

---------------------------------------------------------------------------------

sumber:

https://ruslanhazmi.wordpress.com/2014/10/09/sekilas-tentang-sejarah-kampung-melayu-loloan-jembrana-bali/

https://rozikeane.wordpress.com/sejarah-loloan/
 
TOP