Sejarah Perkembangan Islam di Bali khususnya di Kabupaten Jembrana
“…orang Bugis/Makassar tersebut
pertama kali memperkenalkan ajaran-ajaran agama Islam kepada masyarakat jembrana
yang beragama Hindu Bali. Seiring dengan waktu, maka semakin kuat persatuan di
antara kedua belah pihak, muslim dan warga asli bali yang beragama Hindu bahkan
tercatat ada juga seorang anggota keluarga I Gusti Ngurah Pancoran yang
memasuki agama Islam. Menyusul kemudian beerapa penduduk dan wanita….”
Kutipan yang diambil dari buku karya
I Wayan Reken yang berjudul “Sejarah Perkembangan Islam di Bali khususnya di
Kabupaten Jembrana” di atas menunjukkan proses masuknya Melayu Islam ke Pulau
Bali.
Bukti dari eksistensi orang-orang
Melayu di Bali, khususnya di daerah Jembrana, dapat dilihat dari adanya sebuah
perkampungan yang rumah-rumahnya tidak memiliki pura, seperti halnya kebanyakan
rumah di Bali. Justru, rumah-rumah itu merupakan rumah panggung, ciri khas
perumahan orang Melayu. Kampung Loloan memang merupakan sebuah perkampungan
Melayu, yang dihuni suku Melayu dan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar pergaulan keseharian, walaupun kampung itu berada di Bali. Penduduk
kampung itu merupakan keturunan para penyebar Islam di Bali. Unik memang, di
Bali yang terkenal dengan Hindhu-nya justru dijumpai sekelompok masyarakat yang
konsisten menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari. Tak hanya itu,
pakaian, bentuk rumah, dan tata cara adat pun masih merujuk pada akar budaya
Melayu. Jumlah penduduk Melayu Muslim di Loloan, yang terdiri dari dua kecamatan:
Loloan Timur dan Loloan Barat, saat ini sekitar 15.000 orang, dari sekitar
42.000 Muslim yang tinggal di Kabupaten Jembrana. Menurut H. Mustafa Al-Qadri,
salah seorang sesepuh Melayu di kampung Loloan Barat, orang Melayu di Loloan
berasal dari beberapa daerah: Bugis, Kalimantan dan Terengganu. Namun yang
terbesar berasal dari Bugis.
Berdasarkan buku kecil “Sejarah
Masuknya Islam di Bali II”, setelah Makassar jatuh ke tangan VOC pada tahun
1667, Belanda menjadikan keturunan Sultan Wajo sebagai lawan yang harus
dibasmi. Di bawah tekanan Belanda, rombongan laskar Sultan Wajo, yang dipimpin
Daeng Nahkoda melarikan diri dari tanah Sulawesi hingga akhirnya bermukim di
suatu tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Bajo. Atas izin I Gusti
Ngurah Pancoran yang berkuasa di Jembrana, pelabuhan tempat mereka berlabuh
diberi nama Bandar Pancoran, bekas pelabuhan lama tersebut terletak di Loloan
Barat. Sejak saat itu, berdatanganlah orang-orang Bugis ke Jembrana dengan
menggunakan perahu Pinisi dan Lambo. Selain dari Bugis, dua ratus tahun
kemudian yaitu pada abad ke-18 masehi, juga datang rombongan orang Melayu
Pontianak yang dipimpin oleh Syarif Abdullah bin Yahya Al-Qadry. Dalam
rombongan Syarif Abdullah Yahya al-Qadri tersebut ikut pula orang Melayu dari
Terengganu bernama Ya`qub, yang kemudian menikah dengan penduduk Melayu
tempatan.
Ya`qub inilah yang disebut-sebut
dalam Prasasti Melayu yang disimpan di Masjid Agung Baitul Qadim, Loloan Timur,
yang menurut salah seorang takmir Masjid Agung Baitul Qadim, H. Fathurrahim,
dibangun pada tahun 1600-an masehi. Di pelataran masjid itu pula Ya`qub
dimakamkan. Dalam prasasti tersebut tertulis:
“Satu Dzulqa`dah 1268 H, hari Itsnin.
Encik Ya`qub orang Terengganu mewaqafkan akan barang istrinya serta mewaqafkan
dengan segala warisnya yaitu al-Qur`an dan sawah satu tebih (petak) di
Mertosari. Perolehannya 40 siba` (ikat) dalam Masjid Jembrana di Kampung Loloan
ketika Pak Mahbubah menjadi penghulu dan Pak Mustika menjadi Perbekel. Saksi:
Syarif Abdullah bin Yahya al-Qadri dan Khatib Abdul Hamid”
Selain catatan tersebut, juga ada
informasi tentang kedatangan orang-orang Bugis di Bali sekitar tahun tersebut.
Menurut informasi itu, ulama-ulama dari Negeri Kucing dan Serawak. sekarang di
Malaysia Timur, juga berdatangan ke Loloan. Setelah itu, juga datang seorang
muballigh bernama Syech Ahmad Bawazir dari Yaman. Ia mengajarkan Islam kepada
warga Loloan dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, sesuai
dengan bahasa pengantar di Loloan pada masa itu. Hal inilah yang kemudian
membuat bahasa Bugis lambat laun tersisih, hingga akhirnya hanya bahasa Melayu
yang digunakan di Loloan.
Eksistensi budaya Melayu di Bali
bertambah kuat dan bertambah kokoh setelah generasi-generasi muda Loloan mulai
dikirim belajar hingga ke Mekkah. Bahkan, di antara mereka ada yang menetap di
Mekkah hingga 30 tahun, seperti H. Agus Salam, H. Muhammad Said, dan HM. Asad,
dan KH. Abdurrahman yang sempat mondok di sekitar Masjid al-Haram sebelum Wahabi masuk ke Arab.
Sepulang dari jazirah Arab, mereka kemudian membangun pesantren-pesantren di
Loloan. Masyarakat Melayu Islam di Loloan pada masa itu sangat diterima oleh
penguasa Bali, bahkan tidak berlebihan jika disebut, sangat akrab!. Hal itu
tidak terlepas dari kesediaan para Muslim Jembrana untuk ikut memperkuat armada
kerajaan-kerajaan Hindu Bali. Setiap kali ada serangan dari kerajaan lain,
warga Jembrana dari kalangan Muslim turut membantu. ?Sebagai imbalannya, mereka
diberikan hadiah tanah seluas 200 hektare sebagai pemukiman khas bagi orang
Melayu,? jelas H. Ahmad Damanhuri, sesepuh Melayu Loloan. Saat itu pula, dibuat
sebuah konvensi tak tertulis tentang penggunaan bahasa: bahasa Bali digunakan
dari daerah Air Kuning ke arah timur; sedangkan bahasa Melayu digunakan mulai
dari Jembrana hingga ke daerah Melaya. Walaupun demikian, dalam kenyataannya
tak sekaku konvensi itu. Kini, setelah 500 tahun berselang, ada juga unsur
bahasa Bali yang terserap dalam kosakata Melayu yang dipergunakan oleh
masyarakat Loloan. Oleh karena itu, tak salah jika mereka menyebut dirinya
sebagai Melayu Bali.
Seperti halnya orang Melayu kebanyakan, Melayu Bali di
Loloan juga gemar berpantun. Namun, sepertinya hanya generasi tua saja yang
masih piawai mengucapkannya. Dari segi arsitektur bangunan, kesan Bugis juga
sangat tampak dalam desain bangunan rumah-rumah asli masyarakat Melayu Loloan,
terutama di daerah sekitar Masjid Al-Qadim. Juga, simbol keislaman seperti
tulisan Allah dan Muhammad pada dinding rumah-rumah itu. Simbol inilah yang
membuat Loloan tampak seperti bukan di Bali yang terkenal dengan sebutan Pulau
Seribu Pura itu.
Sejarah Nama Kampung Loloan
Asal usul kata Loloan bermula pada
saat Syarif Abdullah bin Yahya Al Qadry menyusuri sungai Ijogading. Beliau
sangat terkesan dengan pemandangan di sekitar sungai yang berkelok-kelok dan
mengingatkan pada kampung halamannya. Syarif Abdullah bin Yahya Al Qadry
berteriak-teriak sambil memberikan komando kepada para pengikutnya dalam bahasa
Kalimantan ”liloan-liloan”yang artinya berbelokan atau sungai yang
berbelok-belok. Kata ”liloan” yang artinya berbelokan kemudianberubah menjadi
”Loloan” yang artinya berkelok-kelok. Menurut Zaidah Mustapa (1978) menyebutkan
bahwa kata Loloan berasal dari kata ”loloh” (Bahasa Bali) yang artinya
obat-obatan atau jamu. Hal ini didasarkan pada keahlian yang dimiliki oleh
Syarif Abdullah bin Yahya Al Qadry beserta pengikutnya yang terkenal dengan
obat-obatannya yang mujarab untuk menyembuhkan berbagai penyakit, sehingga
relatif banyak orang-orang Bali yang mengkonsumsi obat-obatan atau ”loloh”
buatannya.
Pada tahun 1800, Syarif Abdullah bin Yahya Al Qadry
bersama pengikutnya mulai mendirikan permukiman yang berupa rumah-rumah
panggung. Kemudian pada tahun 1804 membangun benteng pertahanan laskar muslim
yang diberi nama Benteng Fatimah yang letaknya di Loloan Timur. Mereka merubah
kapal-kapal perang menjadi kapal niaga, yang kemudian melakukan perniagaan
sampai ke Singapura dan dataran Melayu. Setahun sebelumnya yaitu tahun 1803
Raja Jembrana yang bernama Anaka Agung Putu Seloka disertai para pembesar
kerajaan dan Syarif Abdullah bin Yahya Al Qadry meresmika enam buah desa yaitu
: 1). Desa Baler Agung, Banjar Tengah, Lelateng, Mertasari sebagai desa
administratif masyarakat Hindu, 2) Desa Loloan Barat dan Loloan Timur sebagai
desa administratif masyarakat Muslim yang sekarang menjadi Kelurahan. Di
samping meresmikan desa-desa tersebut juga diresmikan satu kota yang pada
mulanya menjadi ibu kota dari keenam desa tersebut yaitu Kota Negara, yang pada
awalnya diberi nama Puri Agung Negari (Damanhuri, 1993).
Selanjutnya pada saat
Jembrana berada di bawah kekuasaan Badung (tahun 1805 – 1808) Raja Badung
mempercayakan nahkoda Pattini seorang suku Bugis sebagai Syahbandar di Loloan
yang berkewajiban membayar pajak kepada raja. Pelabuhan Loloan pada saat itu
sangat menguntungkan Kerajaan Badung karena letaknya yang strategis yaitu mudah
dijangkau dari pelabuhan Kuta dan Tuban bagi kapal-kapal pedagang yang berlayar
ke arah barat. Raja Jembrana Anak Agung Putu Seloka digantikan putranya yang
bernama Anak Agung Putu Ngurah yang merupakan raja keempat di Jembrana yang
memerintah dari tahun 1842 – 1855. Pada saat pemerintahan Anak Agung Putu
Ngurah diangkat seorang punggawa dan perbekel. Punggawa I Gusti Made Pasekan
ditugaskan sebagai pengayom rakyat Hindu, berkedudukan di Jero Pasekan Jembrana
dan Perbekel Mustika ditugaskan sebagai pengayom rakyat muslim yang
berkedudukandi Loloan Timur.
Pada tahun 1856 Jembrana sudah di bawah pengawasan
Kolonial Belanda. Politik pecah belah Belanda menybabkan terjadinya perpecahan
di kalangan pembesar kerajaan dan rakyat. Pada saat itu terdapat dua kelompok
yaitu kelompok yang memihak kepada Raja Putu Ngurah dan kelompok yang memihak
kepada I Gusti Made Pasekan termasuk di dalamnya warga muslim yang dipimpin
Syarif Abdullah bin Yahya Al Qadry. Akibatnya terjadilah perang saudara yang
kemudian dimenangkan oleh Punggawa I Gusti Made Pasekan, dan kemudian I Gusti
Made Pasekan menjadi raja ke-5 yang memerintah tahun 1855 – 1866. Pada saat itu
relatif banyak kemajuan yang diperoleh rakyat muslim. Pada tahun 1857 Komisaris
Belanda memerintahkan rakyat Jembrana membangun jalan yang menghubungkan desa
Loloan Timur dengan desa Dauh Waru Jembrana, yang menyebabkan Benteng Fatimah
tergusur.
Pada akhir abad ke-19 di Loloan didirikan sebuah masjid yang diberi
nama Masjid Baitul Qodim. Di dalam masjid tersebut terdapat sebuah prasasti
berangka tahun 1268 H (1883 Masehi), yang sampai saat ini dikenal dengan
sebutan Prasasti Loloan. Dalam prasasti dituliskan tentang seorang yang bernama
Yakub telah mewakafkan sebuah Al Quran dan sebidang tanah untuk pembangunan Mesjid
di Loloan Jembrana.
Pada masa akhir Kerajaan Jembrana diperintah Anak Agung
Made Jelun sebagai raja ke-7 yang memerintah Jembrana dari tahun 1928 – 1952.
Setelah raja ke-7 mengundurkan diri tahun 1952, Jembrana berubah status menjadi
sebuah kabupaten yang dipimpin oleh seorang Bupati yang bernama Ida Bagus
Doster. Kampung Loloan yang dipisahkan sungai Ijogading dibagi menjadi dua
wilayah administratif yaitu Kelurahan Loloan Barat dan Kelurahan Loloan Timur,
yang masih eksis sampai saat ini.
---------------------------------------------------------------------------------
sumber:
https://ruslanhazmi.wordpress.com/2014/10/09/sekilas-tentang-sejarah-kampung-melayu-loloan-jembrana-bali/
https://rozikeane.wordpress.com/sejarah-loloan/